—
1. Puasa tetapi tidak salat
2. Melafazhkan niat “Nawaitu shouma ghodin …”
3. Pensyariatan waktu imsak (berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu shubuh)
4. Membangunkan “Sahur … sahur…”
5. Dzikir berjamaah dengan dikomandoi dalam salat Tarawih dan salat lima waktu
6. Perayaan Nuzulul Quran
7. Tidak mengembalikan keputusan penetapan Ramadhan dan hari raya kepada pemerintah
—
Para pembaca Buletin At Tauhid yang semoga selalu mendapatkan limpahan barokah dari Allah, tidak terasa sudah beberapa hari kita telah menginjak Bulan Ramadhan. Melanjutkan edisi Ramadhan sebelumnya, saat ini Buletin At Tauhid akan mengangkat tema mengenai amalan keliru di Bulan Ramadhan.
Pembahasan ini sengaja kami angkat agar dapat meluruskan berbagai kekeliruan yang selama ini terjadi. Karena -sungguh- amalan tanpa petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu hanya sia-sia belaka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunan dari kami, maka amalannya tertolak.” (H.R. Muslim).
1. Melafazhkan niat “Nawaitu shouma ghodin …”
Sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini, karena tidak adanya dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya adalah dalam hati dan bukan di lisan.
Imam An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama”. Semakin keliru lagi jika niat ini dibaca bersama selepas salat tarawih.
2. Membangunkan “Sahur … sahur…”
Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum, yaitu dengan azan pertama sebelum azan shubuh. Sedangkan azan kedua yaitu ketika azan shubuh untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum.
Inilah cara untuk memberitahukan pada kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum, serta memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan ucapan semisal “sahur … sahur …”, baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu. Cara membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari umat ini.
Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali azan. Azan pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum, azan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memiliki nasihat yang indah, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian“.
3. Pensyariatan waktu imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu shubuh)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah.” (H.R. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah. Dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih). Hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shadiq –yaitu ketika azan shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum azan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan salat. Kemudian Anas bertanya pada Zaid, ”Berapa lama jarak antara azan Shubuh dan sahur kalian?” Zaid menjawab, ”Sekitar membaca 50 ayat”. Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan azan? Jawabnya, tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu azan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Quran (sekitar 10 atau 15 menit).
4. Dzikir jama’ah dengan dikomandoi dalam salat Tarawih dan salat lima waktu
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah salat, “Tidak diperbolehkan para jamaah membaca dzikir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandoi oleh yang lain. Karena dzikir secara berjamaah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syariat Islam yang suci ini.”
5. Perayaan Nuzulul Quran
Perayaan Nuzulul Quran sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mengatakan, “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.” Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.
6. Tidak mau mengembalikan keputusan penetapan Ramadhan dan hari raya kepada pemerintah
Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa Saudi Arabia mengatakan, “Jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.”
7. Puasa tetapi tidak salat
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin –rahimahullah– pernah ditanya, “Apa hukum orang yang berpuasa namun meninggalkan salat?”. Beliau rahimahullah menjawab, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan salat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan salat adalah kafir dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan salat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Ta’ala,”Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (Q.S. At Taubah: 11).
Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan salat.” (H.R. Muslim no. 257). Oleh karena itu, apabila seseorang berpuasa namun dia meninggalkan salat, puasa yang dia lakukan tidaklah sah (tidak diterima). Amalan puasa yang dia lakukan tidaklah bermanfaat pada hari kiamat nanti. Kami katakan, “Salatlah, kemudian tunaikanlah puasa”. Adapun jika engkau puasa namun tidak salat, amalan puasamu akan tertolak karena orang kafir (karena sebab meninggalkan salat) tidak diterima ibadah dari dirinya.
Semoga sajian ini bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Penulis: Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc., dan Ustaz Yulian Purnama, S.Kom.